"Without Media There Can Be No Terrorism!"
HANYA beberapa jam usai tragedi bom di Hotel JW Marriott, Ramadhan Pohan, seorang wartawan Indonesia yang masih menempati posnya di Washington DC, Amerika Serikat, menulis e-mail: "…Saya mengutuk keras para teroris yang-entah atas nama apa pun-keji membunuh korban-korban sipil yang tak punya urusan apa-apa dengan perjuangan dan ideologi mereka. Saya yakin, mereka tidak bertuhan dan amat tak berperikemanusiaan. Sebagai orang Indonesia di negeri asing, saya tak putus meratapi nasib Indonesia kini! Di tengah perekonomian yang masih lusuh, pemberontakan, dan setumpuk masalah lain, bom berkali- kali terjadi! Kita tak kapok, dan terlalu ramah menindak teroris. Media massa Indonesia juga terlalu lembek dalam menghujat dan menohok terorisme!"
Selain pilihan kata-katanya yang lugas, yang paling penting di sini adalah fakta bahwa penulisnya seorang wartawan, bagian dari industri media; dan kebetulan cukup berpengalaman menyaksikan bagaimana media berinteraksi dengan terorisme di berbagai negara lain! Tersentak oleh e-mail itu, saya segera membaca kembali Schmid & Graaf (Violence as Communication: Insurgent Terrorism and the Western News Media; 1982), yang melakukan studi paling komprehensif pertama terhadap hubungan antara kedua elemen itu.
Schmid & Graaf membuka bukunya dengan asumsi, terorisme dan komunikasi massa berkait satu sama lain, lalu mereka membuat pernyataan yang saya pakai sebagai judul artikel ini! Bahkan, dalam deskripsi Johnpoll (1977), kedua unsur itu ditautkan dengan dinamit yang ditemukan tahun 1866 dan mesin cetak yang diperkenalkan tahun 1848 disempurnakan 1881. Sebuah koran bernama Truth pernah secara anarkis mengklaim: "Truth seharga dua sen satu eksemplar, dinamit berharga 40 sen satu pon. Beli keduanya, baca yang satu, gunakan yang lain!"
Teroris memanfaatkan media
Fakta bahwa teroris memanfaatkan media mungkin dapat ditarik jauh ke belakang, antara lain ke kasus pembunuhan Empress Elizabeth (Tuchman, 1972). Pelakunya, Luchini, seorang yang gemar melakukan kliping berita, menyatakan: "Saya telah lama ingin membunuh orang penting agar bisa masuk koran!" Pada tataran teoretis, hal ini dinamakan a violent communication strategy. Sebagai sender adalah si teroris, para korban menjadi message generator, dan receiver adalah kelompok yang dianggap musuh atau publik secara luas.
Karena ruang pada artikel ini terbatas, saya langsung menyampaikan beberapa kemungkinan pemanfaatan media oleh teroris menurut studi Schmid & Graaf, disadari atau tidak oleh pemilik dan praktisi media. Ada 22 penggunaan secara aktif (active uses), antara lain: mengomunikasikan pesan-pesan ketakutan kepada khalayak luas; mempolarisasi pendapat umum; mencoba menarik anggota baru pada gerakan teroris; mengecoh musuhnya dengan menyebar informasi palsu; mengiklankan diri dan menyebabkan mereka merasa terwakili; membangkitkan keprihatinan publik terhadap korban untuk menekan agar pemerintah melakukan kompromi atau konsesi; mengalihkan perhatian publik dari isu-isu yang tidak dikehendaki dengan harapan berita teror mereka mengisi halaman depan media; membangkitkan kekecewaan publik terhadap pemerintah.
Ada delapan penggunaan media secara pasif oleh teroris, sebagian di antaranya: sebagai jaringan komunikasi eksternal di antara teroris; mempelajari teknik-teknik penanganan terbaru terhadap terorisme dari laporan media; mendapat informasi tentang kegiatan terkini pasukan keamanan menghadapi teror yang sedang mereka lakukan; menikmati laporan media yang berlebihan tentang kekuatan teroris hingga menciptakan ketakutan pihak musuh dan mencegah keberanian polisi secara individual; mengidentifikasi target-target selanjutnya; mencari tahu reaksi publik terhadap tindakan mereka.
Media memanfaatkan terorisme\
Di sisi lain, setidaknya ada empat alasan mengapa media "ikut memanfaatkan" peristiwa terorisme. Satu, kejahatan selalu merupakan good news bila perhatian utama hanya menjual koran atau program televisi. Kita bisa balik sampai tahun 1965, ketika kasus pembunuhan disertai perkosaan terhadap dua kakak-beradik di Chicago, menaikkan oplah surat kabar sampai 50.000 eksemplar, jumlah yang amat signifikan kala itu (Sandman dan kawan-kawan, 1976). Ketika Aldo Moro diculik di Italia, sirkulasi koran terbesar Il Corriere naik 35 persen. Saat terbunuh, oplahnya jadi 56,5 persen (Amidei, 1978). Schmid dan Graaf juga memberi perhatian serius pada pengaruh penerimaan iklan yang mendasarkan diri atas mekanisme rating untuk media elektronik.
Dua, media membawa banyak berita dengan kandungan kekerasan karena merasa publik memintanya agar menjadi tahu persis tentang aspek-aspek kehidupan yang mengancam mereka. Namun amat perlu dicatat, kian banyak orang tahu, mereka bisa makin takut ke jalan, akibatnya kontrol masyarakat menjadi berkurang, dan kejahatan dapat bertambah tinggi, lalu media makin sibuk dengan berita kriminal (tentunya dibutuhkan riset ilmiah pada waktu tertentu untuk kasualitas semacam ini).
Tiga, kehidupan khalayak yang "membosankan" karena disiksa rutinitas tidur, berangkat, dan bekerja, membutuhkan berita-berita kekerasan dan seks sebagai thrill (gairah, getaran)! Jadi bisa dimaklumi mengapa kedua jenis berita ini bertaburan setiap hari di televisi! Empat, kadangkala ada sekelompok orang yang menyatakan simpati pada tujuan (baca: misi) para teroris, dan media mengeksposnya karena menganggapnya unik atau demi covering both sides.
Bagaimana sebaiknya
Meski karya Schmid dan Graaf merupakan studi kasus pertama yang komprehensif atas hubungan media dan terorisme, namun mereka tetap tidak bisa tegas memberi jawaban tentang bagaimana peran media sebaiknya. Alali dan Eke (Media Coverage of Terrorism: Methods of Diffusion; 1991) mungkin selangkah lebih maju dalam mencoba menawarkan jawaban! Mereka memakai istilah counterterrorist strategy dan hal itu sungguh tergantung situasi khas di tempat tertentu; dimulai dari strategi media mengurangi ekspos tentang terorisme, tidak terlibat melakukan interpretasi apa pun, sampai menghentikan ekspos tersebut (misal untuk sementara waktu).
Dalam konteks keraguan semacam inilah, usulan seorang wartawan seperti Ramadhan Pohan itu menjadi terdengar "lain". Paling tidak, untuk konteks Indonesia terkini, pernahkah pemilik dan praktisi media kita menghitung, misal dengan content analysis sederhana, berapa bagian media yang digunakan untuk mengekspos terorisme dengan berbagai gaya dan angle (yang juga membuka kemungkinan pemanfaatan para teroris) itu, dan berapa bagian yang sudah kita ciptakan untuk mengutuk tindakan itu secara konsisten; pada headline yang sama-sama eye-catching, dengan bahasa yang lugas!
Bahkan, saat para teroris itu dibawa ke persidangan, mengapa kita terkesan mengambil jeda dalam memperlihatkan "kemarahan" publik? Berapa banyak media kita yang tekun menyampaikan iklan layanan masyarakat antiterorisme (saya baru mencatat satu, di TV 7)?
Akhirnya, satu contoh yang sederhana, begitu sulitkah kita menghindari gambar polisi yang (kadang) tampak tersenyum menggandeng teroris keluar-masuk ruang atau mobil tahanan?
Effendi Gazali Staf Pengajar Program Pascasarjana Komunikasi UI
No comments:
Post a Comment